Banjir merupakan peristiwa yang akrab bagi kota-kota di Pantai Utara
Jawa termasuk kota Jakarta. Jakarta yang dibangun oleh Jan Pieters Z.
Coen di awal abad ke 17 dengan konsep kota air (waterfront city)
merupakan kota yang sangat akrab dengan permasalahan banjir sejak wal
pendiriannya.
Pada waktu didirikan di tahun 1619 pada lokasi kota pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia dirancang dengan kanal-kanal seperti kota Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda. Secara historis semenanjung dan Teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai-sungai Cisadane, Angke, Ciliwung dan Bekasi pada musim hujan. Tetapi saat itu desain ini gagal diterapkan karena tingginya sedimentasi dan rendahnya pemeliharaan saluran dan kanal.
Berbagai faktor penyebab memburuknya kondisi banjir Jakarta saat itu ialah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali disepanjang bantaran sungai, sedimentasi berat serta tidak berfungsinya kanal-kanal dan sistem drainase yang memadai. Hal ini mengakibatkan Jakarta terutama di bantaran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir. Berdasarkan dokumentasi, Kota Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007.
Banjir Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada seluruh penjuru kota serta nebjadi tragedi nasional yang menjadi pusat perhatian. Pada tahun 2002 dan 2007, banjir kembali melanda Jakarta dan sekitarnya dengan dampak yang lebih luas dan parah.
Banjir besar Jakarta tahun 1997 rupanya bukan hanya menciptakan tragedi nasional yang tetapi juga menarik perhatian seluruh dunia. Banjir tersebut dilaporkan menggenangi 4 Kelurahan, 745 rumah, serta mengakibatkan 2.640 orang harus mengungsi. Banjir tsb dilaporkan mencapai rata – rata tinggi 80 cm. Pada Tahun 2002 dan 2007 dilaporkan Banjir Jakarta memburuk dengan penambahan luas genangan banjir dan dampak keuangan yang lebih besar. Banjir besar tahun 2002 dilaporkan menggenangi Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Banjir tsb dilaporkan membunuh 2 orang dan 40.000 orang pengungsi. Sementara banjir pada 2 – 4 Februari 2007 mempengaruhi 60% dari wilayah Jakarta, yang menyebabkan Jakarta di bawah tanda merah panggung dan menggusur 150.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa dampak banjir memburuk setiap tahun karena faktor-faktor internal dan eksternal.
Penyebab banjir di DKI Jakarta, secara umum terjadi karena dua faktor utama yakni faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara lain karena lebih dari 40% kawasan di DKI Jakarta berada di bawah muka air laut pasang. Sehingga Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir saat ini.
Selain itu secara umum topografi wilayah DKI Jakarta yang relatif datar dan 40% wilayah DKI Jakarta berada di dataran banjir Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, dll. Sungai – sungai ini relatif juga terletak di atas ketinggian kawasan sekitarnya. Karena fungsi sungai – sungai ini tadinya merupakan saluran irigasi pertanian. Sedangkan kondisi saat ini kebanyakan lahan pertanian diubah menjadi perumahan dan lain – lain. Akibatnya air secara otomatis berkumpul di kawasan cekungan di Jakarta Utara.
Berdasarkan data klimatografi di kawasan DKI Jakarta, intensitas hujan tinggi (2.000 – 4.000 mm setiap tahunnya) dengan durasi yang lama. Hal ini merupakan sifat umum kawasan tropis lembab serta dampak dari pemanasan global. Curah hujan ini selanjutnya akan menciptakan limpasan air yang deras ketika jatuh di atas daerah tangkapan air (catchment) seluas 850 km2 di hulu Jakarta. Daerah tangkapan ini juga mencakup Cianjur, Bogor, Depok dan DKI Jakarta. Pembangunan besar – besaran di kawasan ini juga menambah debit limpasan permukaan yang akhirnya juga menambah potensi banjir di kawasan hilir sungai.
Kondisi ini diperparah oleh kecilnya kapasitas tampung sungai saat ini dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta. Kapasitas sungai dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan, sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan. Yang yerakhir pengaruh peningkatan pasang air laut dan penurunan tanah di Jakarta Utara juga menyebabkan daerah Jakarta Utara semakin rentan banjir.
Sedangkan penyebab banjir dari sisi faktor manusia antara lain karena tidak terintegrasinya tata kota dan tata air di Jabodetabekjur, perencanaan tata ruang yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (di antaranya kurangnya tempat parkir air dan sumber air bersih) serta lemahnya implementasi tata ruang dan tata air di Jabodetabekjur.
Kompetisi dan eksploitasi pemanfaatan lahan di kawasan Jabodetabekjur yang sedemikian cepat juga membuat konversi besar-besaran badan air dan daerah rawan banjir (sungai, rawa, situ serta sempadannya) menjadi perumahan, kawasan industri, dll.
Selanjutnya hal ini juga mengakibatkan sedimentasi sungai akibat lumpur, sampah organik dan inorganik yang disebabkan oleh pembukaan lahan tersebut. Ketidakjelasan pembagian peran dan tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga menyebabkan memburuknya kondisi banjir yang ada.
Terakhir faktor penyebab manusiawi banjir Jakarta ialah pengambilan air tanah yang berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan tanah semakin ekstrim terutama di Jakarta Utara.
Kedua, Integrated Water Resource Management (IWRM) Plan sangat dibutuhkan untuk mencapai visi berkurangnya banjir di Jabodetabekjur. Hal ini dibutuhkan karena daerah tangkapan yang mempengaruhi Jakarta berasal dari Jabodetabekjur. IWRM Plan ini harus disusun secara komprehensif dengan kolaborasi semua pihak terkait seperti studi kasus IWRM Singapura. Tetapi kondisi kelembagaan dan teknis juga harus diperhatikan dalam IWRM Plan Jabodetabekjur. Kemudian, diperlukan peningkatan kapasitas SDM dan mekanisme organisasi untuk menyusun, menjalankan dan mengevaluasi IWRM Plan.
Selain itu Polder diduga dibutuhkan untuk kawasan Jakarta Utara untuk mengurangi permasalahan genangan banjir karena air hujan dan pasang naik. Polder merupakan sebuah Sistem Tata Air tertutup dengan elemen – elemen tanggul, pompa, saluran, waduk retensi, pengaturan lansekap, saluran dan instalasi air kotor terpisah. Dengan catatan Polder ini harus bekerja sebagai sebuah kesatuan sistem dan terintegrasi dengan master plan drainase yang lebih makro.
Diharapkan dengan 3 saran di atas maka banjir DKI Jakarta akan dapat dikurangi dan Kota Surabaya dapat menjadi Kota yang Berkelanjutan dan mencapai Visi kota Jakarta sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta 2010 adalah mewujudkan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar di negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan.
Pada waktu didirikan di tahun 1619 pada lokasi kota pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia dirancang dengan kanal-kanal seperti kota Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda. Secara historis semenanjung dan Teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai-sungai Cisadane, Angke, Ciliwung dan Bekasi pada musim hujan. Tetapi saat itu desain ini gagal diterapkan karena tingginya sedimentasi dan rendahnya pemeliharaan saluran dan kanal.
Berbagai faktor penyebab memburuknya kondisi banjir Jakarta saat itu ialah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali disepanjang bantaran sungai, sedimentasi berat serta tidak berfungsinya kanal-kanal dan sistem drainase yang memadai. Hal ini mengakibatkan Jakarta terutama di bantaran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir. Berdasarkan dokumentasi, Kota Jakarta dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007.
Banjir Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada seluruh penjuru kota serta nebjadi tragedi nasional yang menjadi pusat perhatian. Pada tahun 2002 dan 2007, banjir kembali melanda Jakarta dan sekitarnya dengan dampak yang lebih luas dan parah.
Banjir besar Jakarta tahun 1997 rupanya bukan hanya menciptakan tragedi nasional yang tetapi juga menarik perhatian seluruh dunia. Banjir tersebut dilaporkan menggenangi 4 Kelurahan, 745 rumah, serta mengakibatkan 2.640 orang harus mengungsi. Banjir tsb dilaporkan mencapai rata – rata tinggi 80 cm. Pada Tahun 2002 dan 2007 dilaporkan Banjir Jakarta memburuk dengan penambahan luas genangan banjir dan dampak keuangan yang lebih besar. Banjir besar tahun 2002 dilaporkan menggenangi Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Banjir tsb dilaporkan membunuh 2 orang dan 40.000 orang pengungsi. Sementara banjir pada 2 – 4 Februari 2007 mempengaruhi 60% dari wilayah Jakarta, yang menyebabkan Jakarta di bawah tanda merah panggung dan menggusur 150.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa dampak banjir memburuk setiap tahun karena faktor-faktor internal dan eksternal.
Penyebab banjir di DKI Jakarta, secara umum terjadi karena dua faktor utama yakni faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara lain karena lebih dari 40% kawasan di DKI Jakarta berada di bawah muka air laut pasang. Sehingga Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir saat ini.
Selain itu secara umum topografi wilayah DKI Jakarta yang relatif datar dan 40% wilayah DKI Jakarta berada di dataran banjir Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, dll. Sungai – sungai ini relatif juga terletak di atas ketinggian kawasan sekitarnya. Karena fungsi sungai – sungai ini tadinya merupakan saluran irigasi pertanian. Sedangkan kondisi saat ini kebanyakan lahan pertanian diubah menjadi perumahan dan lain – lain. Akibatnya air secara otomatis berkumpul di kawasan cekungan di Jakarta Utara.
Berdasarkan data klimatografi di kawasan DKI Jakarta, intensitas hujan tinggi (2.000 – 4.000 mm setiap tahunnya) dengan durasi yang lama. Hal ini merupakan sifat umum kawasan tropis lembab serta dampak dari pemanasan global. Curah hujan ini selanjutnya akan menciptakan limpasan air yang deras ketika jatuh di atas daerah tangkapan air (catchment) seluas 850 km2 di hulu Jakarta. Daerah tangkapan ini juga mencakup Cianjur, Bogor, Depok dan DKI Jakarta. Pembangunan besar – besaran di kawasan ini juga menambah debit limpasan permukaan yang akhirnya juga menambah potensi banjir di kawasan hilir sungai.
Kondisi ini diperparah oleh kecilnya kapasitas tampung sungai saat ini dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta. Kapasitas sungai dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan, sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan. Yang yerakhir pengaruh peningkatan pasang air laut dan penurunan tanah di Jakarta Utara juga menyebabkan daerah Jakarta Utara semakin rentan banjir.
Sedangkan penyebab banjir dari sisi faktor manusia antara lain karena tidak terintegrasinya tata kota dan tata air di Jabodetabekjur, perencanaan tata ruang yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (di antaranya kurangnya tempat parkir air dan sumber air bersih) serta lemahnya implementasi tata ruang dan tata air di Jabodetabekjur.
Kompetisi dan eksploitasi pemanfaatan lahan di kawasan Jabodetabekjur yang sedemikian cepat juga membuat konversi besar-besaran badan air dan daerah rawan banjir (sungai, rawa, situ serta sempadannya) menjadi perumahan, kawasan industri, dll.
Selanjutnya hal ini juga mengakibatkan sedimentasi sungai akibat lumpur, sampah organik dan inorganik yang disebabkan oleh pembukaan lahan tersebut. Ketidakjelasan pembagian peran dan tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga menyebabkan memburuknya kondisi banjir yang ada.
Terakhir faktor penyebab manusiawi banjir Jakarta ialah pengambilan air tanah yang berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan tanah semakin ekstrim terutama di Jakarta Utara.
Usulan Solusi dan Kesimpulan
Integrasi Tata Ruang dan Tata Air sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Kota Jakarta untuk mengurangi dampak banjir setempat. Perencanaan Tata Ruang Komprehensif berbasis Ekologis sangat diperlukan terutama memperhatikan tata air di kota ini. Bagaimana perencanaan ini dapat dilakukan? Tentu saja harus melibatkan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat.Kedua, Integrated Water Resource Management (IWRM) Plan sangat dibutuhkan untuk mencapai visi berkurangnya banjir di Jabodetabekjur. Hal ini dibutuhkan karena daerah tangkapan yang mempengaruhi Jakarta berasal dari Jabodetabekjur. IWRM Plan ini harus disusun secara komprehensif dengan kolaborasi semua pihak terkait seperti studi kasus IWRM Singapura. Tetapi kondisi kelembagaan dan teknis juga harus diperhatikan dalam IWRM Plan Jabodetabekjur. Kemudian, diperlukan peningkatan kapasitas SDM dan mekanisme organisasi untuk menyusun, menjalankan dan mengevaluasi IWRM Plan.
Selain itu Polder diduga dibutuhkan untuk kawasan Jakarta Utara untuk mengurangi permasalahan genangan banjir karena air hujan dan pasang naik. Polder merupakan sebuah Sistem Tata Air tertutup dengan elemen – elemen tanggul, pompa, saluran, waduk retensi, pengaturan lansekap, saluran dan instalasi air kotor terpisah. Dengan catatan Polder ini harus bekerja sebagai sebuah kesatuan sistem dan terintegrasi dengan master plan drainase yang lebih makro.
Diharapkan dengan 3 saran di atas maka banjir DKI Jakarta akan dapat dikurangi dan Kota Surabaya dapat menjadi Kota yang Berkelanjutan dan mencapai Visi kota Jakarta sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta 2010 adalah mewujudkan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar di negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan.
Bibliografi:
- Dinas PU Provinsi DKI Jakarta (2008), Buku Penanganan Banjir Provinsi DKI Jakarta
- 2. Tanuwidjaja, Gunawan., Widjaya, Joyce Martha., (2010), Integrasi Tata Ruang dan Tata Air untuk Mengurangi Banjir di Surabaya, Paper yang akan dipresentasikan di “Seminar Nasional tentang Arsitektur [di] kota: Hidup dan Berkehidupan di Surabaya?” UK Petra
No Responses to "Sejarah Singkat DAN Penyebab Banjir DKI JAKARTA DAN Usulan Solusinya"